ALKIL
HALIDA
Ø Alkil
Halida (organohalogen) adalah
senyawa hidrokarbon yang mengandung halogen yang terikat pada atom
karbon jenuh (atom karbon yang terhibridisasi sp3).
Ø Alkil halida adalah turunan hidrokarbon di mana satu atau
lebih hidrogennya diganti dengan halogen. Tiap-tiap hidrogen dalam hidrokarbon potensil digantikan dengan halogen,
bahkan ada senyawa hidrokarbon yang semua hidrogennya dapat diganti.
Ø Klasifikasi
Alkil Halida
1. Alkil
halida primer (1o): satu gugus alkil terikat pada C ujung.
R –
CH2X
2. Alkil halida sekunder (2o): dua gugus
alkil terikat pada C ujung.
R2 –
CHX
3. Alkil halida tersier (3o): tiga gugus
alkil terikat pada C ujung.
R3
– CX
Ø Halogen lebih elektronegatif dibandingkan karbon. Ikatan C – X akan terpolarisasi, elektron
ikatan ditarik lebih ke arah halogen (X) dibanding ke arah karbon (C) . Karbon bermuatan positif parsial (d+) dan
halogen bermuatan negatif parsial (d-). Karena atom karbon
terpolarisasi positif, maka alkil halida adalah suatu elektrofil.
*Elektrofil (= suka elektron) yaitu suatu reagen yang miskin
elektron (electron-poor) dan dapat membentuk ikatan dengan menerima
sepasang elektron dari suatu reagen yang kaya electron (elektron-rich-reagent).
Ø Tata nama
Trivial: Disebutkan nama R (alkil) dulu, diikuti halidanya.
Contoh: CH3 – CH2 – Br (Etil bromida)
IUPAC: Awalan halo-, induknya adalah Alkana. Contoh: CH3
– CH2 – Br (Bromo etana)
Ø Sifat Fisik
1. Titik didihnya lebih
tinggi daripada Alkana dengan jumlah C yang sama karena berat molekulnya lebih
tinggi.
2. Titik didih akan semakin
tinggi dengan bertambah besarnya berat atom Halogen.
3. Titik didih akan semakin
tinggi dengan semakin banyak atom C.
4. Tidak larut dalam air
karena tidak mampu melakukan ikatan hidrogen dengan air.
5. Rapatan (density) Alkil
halida cair lebih tinggi dibandingkan senyawa organik lain seperti air.
REAKSI SUBSTITUSI NUKLEOFILIK PADA ALKIL HALIDA
Ø Atom karbon ujung suatu Alkil Halida mempunyai muatan
positif parsial. Karbon ini rentan terhadap (susceptible; mudah diserang) oleh anion dan spesi lain apa saja
yang mempunyai sepasang elektron menyendiri (unshared) dalam kulit luarnya.
Ø Dalam suatu reaksi substitusi alkil halida, halida disebut sebagai gugus pergi (leaving group) yang berarti gugus apa
saja yang dapat digeser dari ikatannya dengan suatu atom karbon. Ion Halida
merupakan gugus pergi yang baik, karena ion-ion ini merupakan basa yang sangat
lemah. Basa kuat seperti misalnya OH-, bukan gugus pergi yang baik.
Ø Spesi (spesies) yang menyerang suatu alkil halida dalam
suatu reaksi substitusi disebut nukleofil
(nucleophile, “pecinta nukleus”),
sering dilambangkan dengan Nu-.
Umumnya, sebuah nukleofil ialah spesi apa saja yang tertarik ke suatu pusat
positif ; jadi sebuah nukleofil adalah
suatu basa Lewis. Kebanyakan nukleofil adalah anion, namun beberapa molekul
polar yang netral, seperti H2O, CH3OH dan CH3NH2 dapat juga bertindak sebagai nukleofil.
Molekul netral ini memiliki pasangan elektron menyendiri, yang dapat
digunakan untuk membentuk ikatan sigma.
Ø Lawan nukleofil ialah elektrofil (“pecinta elektron”) sering dilambangkan dengan E+. Suatu elektrofil ialah spesi apa
saja yang tertarik ke suatu pusat negatif, jadi suatu elektrofil ialah suatu asam Lewis seperti H+ atau ZnCl2.
Pada dasarnya terdapat dua mekanisme reaksi
substitusi nukleofilik. Mereka dilambangkan dengan SN2 adan SN1. Bagian SN
menunjukkan substitusi nukleofilik, sedangkan arti 1 dan 2 akan dijelaskan
kemudian.
A. MEKANISME REAKSI SN2 adalah proses satu
tahap. Notasi 2 menyatakan bahwa reaksi adalah bimolekuler, yaitu nukleofil dan
substrat terlibat dalam langkah penentu kecepatan reaksi dalam mekanisme
reaksi.
Mekanisme reaksi SN2 digambarkan sebagai
berikut:
Nukleofil menyerang dari belakang ikatan C-X.
Pada keadaan transisi, nukleofil dan gugus pergi berasosiasi dengan karbon di
mana substitusi akan terjadi. Pada saat gugus pergi terlepas dengan membawa
pasangan elektron, nukleofil memberikan pasangan elektronnya untuk dijadikan
pasangan elektron dengan karbon.
Mekanisme reaksi SN2 hanya terjadi pada alkil
halida primer dan sekunder. Nukleofil yang menyerang adalah jenis nukleofil
kuat seperti -OH, -CN, CH3O-. Untuk lebih jelas, perhatikan contoh mekanisme reaksi SN2 bromoetana dengan ion hidroksida
berikut ini.
Adapun ciri
reaksi SN2 adalah:
·
Karena
nukleofil dan substrat terlibat dalam langkah penentu kecepatan reaksi, maka
kecepatan reaksi tergantung pada konsentrasi kedua spesies tersebut.
·
Reaksi
terjadi dengan pembalikan (inversi) konfigurasi. Misalnya jika kita mereaksikan
(R)-2-bromobutana dengan natrium hidroksida, akan diperoleh (S)-2-butanol. Ion
hidroksida menyerang dari belakang ikatan C-Br. Pada saat substitusi terjadi,
ketiga gugus yang terikat pada karbon sp3 kiral itu seolah-olah
terdorong oleh suatu bidang datar sehingga membalik. Karena dalam molekul ini
OH mempunyai prioritas yang sama dengan Br, tentu hasilnya adalah
(S)-2-butanol. Jadi reaksi SN2 memberikan hasil inversi.
·
Jika substrat
R-L bereaksi melalui mekanisme SN2, reaksi terjadi lebih cepat apabila R
merupakan gugus metil atau primer, dan lambat jika R adalah gugus tersier.
Gugus R sekunder mempunyai kecepatan pertengahan. Alasan untuk urutan ini
adalah adanya efek rintangan sterik. Rintangan sterik gugus R meningkat dari
metil < primer < sekunder < tersier. Jadi kecenderungan reaksi SN2
terjadi pada alkil halida adalah: metil > primer > sekunder >>
tersier.
B. MEKANISME REAKSI SN1 adalah proses dua
tahap.
I. Tahap pertama (tahap lambat), ikatan
antara karbon dengan gugus pergi, putus. Gugus pergi terlepas
dengan membawa pasangan elektron, dan terbentuklah ion karbonium. Pada tahap
ini tidak melibatkan Nu-.
II. Tahap kedua (tahap cepat), ion karbonium
bergabung dengan nukleofil membentuk produk.
Mekanisme reaksi SN1 hanya terjadi pada
alkil halida tersier. Nukleofil yang dapat menyerang adalah nukleofil basa
sangat lemah seperti H2O, CH3CH2OH.
Sebagai contoh adalah reaksi antara
t -butil bromida dengan air.
Kecepatan
reaksi akan ditentukan oleh seberapa cepat halogen-alkana terionisasi. Karena
tahapan awal yang lambat ini hanya melibatkan satu spesies, maka mekanisme ini
disebut sebagai SN1 – substitusi, nukleofilik, satu spesies yang
terlibat dalam tahap awal yang lambat.
Adapun ciri reaksi
SN1 adalah:
·
Kecepatan
reaksinya tidak tergantung pada konsentrasi nukleofil. Tahap penentu kecepatan
reaksi adalah tahap pertama di mana nukleofil tidak terlibat.
· Jika karbon
pembawa gugus pergi bersifat kiral, reaksi akan menyebabkan hilangnya aktivitas
optik karena terjadi rasemik. Pada ion karbonium, hanya ada satu gugus yang
terikat pada karbon positif. Karena itu, karbon positif mempunyai hibridisasi
sp2 dan berbentuk planar. Jadi nukleofil mempunyai dua arah
penyerangan, yaitu dari depan dan dari belakang. Dan kesempatan ini masing-masing
mempunyai peluang 50 %. Jadi hasilnya adalah rasemit. Misalnya, reaksi
(S)-3-bromo-3-metilheksana dengan air menghasilkan alkohol rasemik.
Spesies antaranya (intermediate species) adalah ion karbonium dengan geometrik planar sehingga air mempunyai peluang menyerang dari dua sisi (depan dan belakang) dengan peluang yang sama menghasilkan adalah campuran rasemik X yang melalui mekanisme SN1 akan berlangsung cepat jika R merupakan struktur tersier, dan lambat jika R adalah struktur primer. Hal ini sesuai dengan urutan kestabilan ion karbonium, 3o > 2o > 1o.
Spesies antaranya (intermediate species) adalah ion karbonium dengan geometrik planar sehingga air mempunyai peluang menyerang dari dua sisi (depan dan belakang) dengan peluang yang sama menghasilkan adalah campuran rasemik X yang melalui mekanisme SN1 akan berlangsung cepat jika R merupakan struktur tersier, dan lambat jika R adalah struktur primer. Hal ini sesuai dengan urutan kestabilan ion karbonium, 3o > 2o > 1o.
C. PERBANDINGAN MEKANISME SN2 DAN SN1
Tabel berikut
memuat ringkasan mengenai mekanisme substitusi dan mebandingkannya dengan
keadaan-keadaan lain, seperti keadan pelarut dan struktur nukleofil.
Pada tahap pertama dalam mekanisme SN1 adalah tahap
pembentukan ion, sehingga mekanisme ini dapat berlangsung lebih baik dalam
pelarut polar. Jadi halida sekunder yang dapat bereaksi melalui kedua mekanisme
tersebut, kita dapat mengubah mekanismenya dengan menyesuaikan kepolaran
pelarutnya. Misalnya, mekanisme reaksi halida sekunder dengan air (membentuk
alkohol) dapat diubah dari SN2 menjadi SN1 dengan mengubah pelarutnya dari 95%
aseton-5% air (relatif tidak-polar) menjadi 50% aseton-50% air (lebih polar,
dan pelarut peng-ion yanglebih baik). Kekuatan nukleofil juga dapat mengubah
mekanisme reaksi yang dilalui oleh reaksi oleh reaksi SN. Jika nukleofilnya
kuat maka mekanisme SN2 yang terjadi.
Berikut ini
ada beberapa petunjuk yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu nukleofil
adalah kuat atau lemah.
·
Ion nukleofil
bersifat nukleofil. Anion adalah pemberi elektron yang lebih baik daripada
molekul netralnya.
·
Unsur yang
berada pada periode bawah dalam tabel periodik cenderung merupakan nukleofil
yang lebih kuat daripada unsur yang berada dalam periode di atasnya yang
segolongan.
·
Pada periode
yang sama, unsur yang lebih elektronegatif cenderung merupakan nukleofil lebih
lemah (karena ia lebih kuat memegang elektron). Karena C dan N N: ,ºberada dalam periode yang
sama, tidak mengherankan jika pada ion -:C yang bereaksi adalah karbon, karena
sifat nukleofilnya lebih kuat.
PERMASALAHAN
1. Mengapa mekanisme
reaksi SN2 hanya terjadi pada alkil halida primer dan sekunder ?
2. Apa yang terjadi jika karbon pembawa gugus pergi
(halida) pada mekanisme reaksi SN1 tidak bersifat kiral ?
3. Kenapa kekuatan nukleofil (Nu-) sangat mempengaruhi
kecepatan reaksi substitusi nukleofilik?